Hari Kebangkitan

Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan seluruh kaum muslimin yang senantiasa berpegang teguh pada sunnah Beliau sampai hari kiamat.

Kaum muslimin rahimakumullah, Hari Kiamat pasti terjadi, akan tetapi tidak ada seorang manusia maupun Malaikat yang tahu kapan terjadinya. Itulah keyakinan yang harus tertanam kuat dalam hati setiap muslim. Manusia yang paling mulia dan paling dekat dengan Allah Ta’ala, yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak mengetahui kapan terjadinya. Demikian pula Malaikat yang paling mulia dan paling dekat dengan Allah Ta’ala, yakni Malaikat Jibril ‘alaihis salam, tidak mengetahuinya.

Hari Kiamat Terjadi di Hari Jum’at
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik hari dimana matahari terbit adalah hari Jum’at. Pada hari Jum’at Adam diciptakan, pada hari itu dia dimasukkan ke dalam Surga dan pada hari Jum’at itu juga dia dikeluarkan dari Surga. Dan hari Kiamat tidaklah terjadi kecuali pada hari Jum’at.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 854).

Aus bin Aus radhiyallahu ‘anhu bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Sesungguhnya sebaik-baik hari kalian adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan dan diwafatkan. Pada hari itu juga Sangsakala ditiup dan petir bergemuruh.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 883 dan Ibnu Majah, no. 1075. Hadits ini dinilai shohih oleh Al-Albani dalam Shahiih Abi Dawud, I/290 dan Shahiih Ibni Majah, I/322).

Peniupan Sangsakala
Hari kebangkitan dimulai setelah peniupan Sangkakala oleh Malaikat Israfil, atas perintah Allah Ta’ala. Berapa kali sangkakala itu ditiup? Berkaitan dengan masalah ini, ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang berapa kali Sangsakala di tiup. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Katsir menyatakan ada tiga kali tiupan. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Syaikh Sholih Alu Syaikh ketika beliau menjelaskan kitab al-Aqidah al-Wasithiyah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa al-Qur‘an mengabarkan tiga kali tiupan. Tiga tiupan sangsakala ini adalah
Pertama, ialah tiupan al-faz’u (tiupan yang mengejutkan), sebagaimana disebutkan dalam surat An-Naml ayat 87. AllahTa’ala berfirman:
“Dan (ingatlah) hari (ketika) ditiup sangkakala, maka terkejutlah segala yang di langit dan segala yang di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah.” (QS. An-Naml: 87)

Kedua, yaitu tiupan ash-sha’iq (tiupan yang mematikan), dan yang ketiga adalah tiupan qiyam (bangkit). Dua macam tiupan ini terangkum dalam firman Allah Ta’ala: “Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian sangkakala itu ditiup sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannnya masing-masing).” (QS. Az-Zumar: 68).
Inilah tiga kali tiupan yang disampaikan oleh Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahulah. (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 4/260-261).

Sebagian ulama lagi berpendapat ada dua tiupan. Inilah pendapat Syaikh Muhammad bin Sholih al-’Utsaiminrahimahullah. Tiupan Sangsakala pertama berfungsi sebagai tiupan yang mengejutkan dan membuat pingsan semua makhluk, baik yang di langit maupun di bumi, kecuali yang dikehendaki Allah Ta’ala. Sedangkan tiupan kedua berfungsi untuk membangkitkan semua makhluk dari kuburnya. Setelah tiupan yang kedua ini, bangkitlah manusia dari liang kuburnya untuk menghadap Rabb semesta alam. (Syarhu Lum’at al I’tiqad, Tahqiq Asyraf Abdul Maqsud, hal. 114)

Berapa Jarak Antara Dua Tiupan?
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jarak antar dua tiupan Sangsakala itu empat puluh.” Lalu para sahabat bertanya, “Wahai Abu Hurairah, apakah 40 hari?” Abu Hurairah menjawab, “Aku tidak tahu.” Mereka bertanya lagi, “Apakah 40 bulan?” Abu Hurairah menjawab, “Aku tidak tahu.” Mereka bertanya lagi, “Apakah 40 tahun?” Abu Hurairah menjawab, “Aku tidak tahu.” Kemudian turunlah hujan dari langit, lalu mereka tumbuh seperti tumbuhnya sayuran. Semua bagian manusia akan hancur kecuali satu tulang, yaitu tulang ekor. Dari tulang ekor itulah manusia diciptakan pada hari Kiamat.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 4554 dan Muslim, no. 5253).

Demikianlah hadits tentang jarak antara tiupan ash-sho’iq (yang mematikan) dan tiupan al-qiyam (kebangkitan). Hadits ini hanya menyebutkan jaraknya adalah empat puluh, tanpa ada penegasan hari, bulan atau tahun. Adapun riwayat yang menegaskan 40 hari adalah riwayat yang lemah. Wallahu Ta’ala a’lam.

Bagian Tubuh Manusia Yang Tidak Dimakan Tanah
Seluruh tubuh manusia akan hancur dimakan tanah, kecuali yang dikehendaki Allah Ta’ala. Adapun yang tidak hancur dimakan tanah adalah
1. Jasad para Nabi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla mengharamkan tanah memakan jasad para Nabi.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 883, Ibnu Majah, no. 1075 dan dinilai shohih oleh Al-Albani dalam Shohih Sunan Abu Dawud, no. 962 dan Shohiih Ibni Majah, no. 889).
2. Tubuh para syuhada (orang yang meninggal jihad fi sabilillah). Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu pernah menggali makam ayahnya yang mati dalam perang Uhud. Ayahnya dimakamkan bersama orang lain dalam satu liang. Kemudian ia merasa kurang senang membiarkan beliau bersama yang lain dalam satu kuburan. Maka kuburannya digali setelah setelah enam bulan. Ternyata, keadaan ayahnya masih sama seperti saat dikuburkan, kecuali telinganya. (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1264).

3. Tulang ekor manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya pada diri manusia ada satu tulang yang tidak dimakan tanah selamanya. Padanya manusia disusun (kembali) pada hari Kiamat”. Para sahabat bertanya, “Tulang apakah itu, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tulang ekor.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 5255)
4. Ruh manusia. Meskipun ruh manusia adalah makhluk, namun ia tidak akan punah. (Syarah Al-Aqidah Al-Safariniyah, Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz Mani’, hal. 212)

Keadaan Manusia Ketika Dibangkitkan
Setelah tiupan ash-sha’iq (tiupan yang mematikan), maka matilah yang di langit dan di bumi kecuali yang dikehendaki Allah Ta’ala. Lalu Allah Ta’ala menurunkan hujan yang membasahi bumi dan menumbuhkan jasad manusia dari tulang ekornya. Jasad-jasad manusia ini tumbuh seperti tumbuhnya sayuran yang disirami hujan. Allah Ta’ala berfirman: “Dan Rabb yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari dalam kubur).” (QS. Zukhruf: 11)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kemudian Allah menurunkan hujan bagaikan gerimis atau awan. Maka tumbuhlah darinya jasad-jasad manusia. Kemudian ditiup kembali Sangsakala untuk kedua kalinya, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusan masing-masing).”(Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 5233)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahu umatnya bahwasanya mereka akan dibangkitkan dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian dan belum dikhitan, lalu dikumpulkan di padang Mahsyar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya kalian akan dikumpulkan menuju Allah Ta’ala dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian dan belum dikhitan.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 3349 dan Muslim, no. 2860, dari sahabat ‘Abdullah ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma).

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya, “Apakah laki-laki dan wanita saling melihat satu sama lain?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Keadaannya jauh lebih berat dari sekedar melihat satu sama lain.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 5102). [dr. Muhaimin Ashuri]

At Tauhid edisi VII/45
Oleh: dr. Muhaimin Ashuri

Fiqih Qurban

Allah subhanahu wata’ala berfirman yang artinya, Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan. ” (QS. Al Kautsar: 2). Syaikh Abdullah Alu Bassaam mengatakan, “Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan; Yang dimaksud dengan menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban setelah shalat Ied.” Pendapat ini dinukil dari Qatadah, Atha ‘dan Ikrimah ( Taisirul ‘Allaam , 534 Taudhihul Ahkaam , IV/450. Lihat juga Shahih Fiqih Sunnah II/366). Dalam istilah ilmu fiqih hewan qurban biasa disebut dengan nama Al Udh-hiyah yang bentuk jamaknya Al Adhaahi (dengan huruf ha ‘ tipis)

Pengertian Udh-hiyah

Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut (lihat Al Wajiz , 405 dan Shahih Fiqih Sunnah II/366)

Keutamaan Qurban

Menyembelih qurban termasuk amal shalih yang paling utama. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad shahih, lihat Taudhihul Ahkam , IV/450)

Hadis di atas didhaifkan oleh Syaikh Al Albani ( dhaif Ibnu Majah , 671). Namun kegoncangan hadits di atas tidaklah menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban . Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adlha lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Disamping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah. (Lih. Shahih Fiqh Sunnah 2 / 379 & Syarhul Mumthi ‘ 7 / 521)

Hukum Qurban

Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:

Pertama , wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad dan sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘ Utsaimin rahimahumullah . Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan untuk yang mampu … ” (lih. Syarhul Mumti ‘ , III/408) Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berkurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami. ” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)

Pendapat kedua menyatakan Sunnah Mu’akkadah (ditekankan). Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu . Ia mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berkurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku. ” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada riwayat shahih dari seorang sahabatpun yang mengatakan bahwa qurban itu wajib . “(lihat Shahih Fiqih Sunnah , II/367-368, Taudhihul Ahkaam , IV/454)

Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan: “… selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a’lam. ” ( Tafsir Adwa’ul Bayan , 1120)

Yakinlah …! untuk mereka yang berkurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdo’a: ” Yaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq . “Dan yang kedua berdo’a:” Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit). “( HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).

Hewan yang bisa Digunakan Untuk Qurban

Hewan qurban hanya bisa dari kalangan Bahiimatul Al An’aam (hewan ternak tertentu) yaitu onta, sapi atau kambing dan tidak bisa selain itu. Bahkan sekelompok ulama menukilkan adanya ijma ‘(kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah , II/369 dan Al Wajiz 406) Dalilnya adalah firman Allah yang artinya, “Dan untuk setiap umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul an’aam). ” (QS. Al Hajj: 34) Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, “Bahkan jika seandainya ada orang yang berkurban dengan jenis hewan lain yang lebih mahal dari pada jenis ternak tersebut maka qurbannya tidak sah. Andaikan dia lebih memilih untuk berqurban seekor kuda seharga 10.000 real sedangkan seekor kambing harganya hanya 300 real maka qurbannya (dengan kuda) itu tidak sah … ” ( Syarhul Mumti ‘ , III/409)

Seekor Kambing Untuk Satu Keluarga

Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang mengatakan, “Pada waktu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban untuk dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan ia menilainya shahih, lihat Minhaajul Muslim , 264 dan 266 ).

Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu, misalnya kambing 1 untuk anak si A, kambing 2 untuk anak si B, karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.

Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkurban untuk seluruh dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau ingin menyembelih kambing qurban. Sebelum menyembelih beliau mengatakan: ” Yaa Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku yang tidak berkurban . “(HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4 / 229 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa ‘ 4 / 349). Berdasarkan hadits ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan: ” Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. ”

Adapun yang dimaksud: “… kambing hanya bisa untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang …” adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya bisa dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya bisa dari maksimal tujuh orang dst.

Namun seandainya ada orang yang ingin membantu shohibul qurban yang kekurangan biaya untuk membeli hewan, maka diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status qurbannya. Dan status bantuan di sini adalah hadiah bagi shohibul qurban. Apakah harus izin terlebih dahulu kepada pemilik hewan?

Jawab : Tidak harus, karena dalam transaksi hadiah tidak dipersyaratkan memberitahukan kepada orang yang diberi sedekah.

Ketentuan Untuk Sapi & Onta

Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu ia mengatakan, “Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang. ” ( Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz , hal. 406)

Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut urunan.

Arisan Qurban Kambing?

Mengadakan arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk qurban. Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian ulama menganjurkan untuk berqurban meskipun harus hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dinukil oleh Ibn Katsir dari Sufyan At Tsauri ( Tafsir Ibn Katsir , surat Al Hajj: 36) (*) Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Ia menyarankan agar orang yang tidak memiliki biaya aqiqah agar berhutang dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah kelahiran.

(*) Sufyan At Tsauri rahimahullah mengatakan: Dulu Abu Hatim pernah berhutang untuk membeli unta kurban. Beliau ditanya: “Kamu berhutang untuk beli unta kurban?” beliau jawab: “Saya mendengar Allah berfirman: لكم فيها خير (kamu memperoleh kebaikan yang banyak pada unta-unta kurban tersebut) (QS: Al Hajj: 36).” (lih. Tafsir Ibn Katsir , surat Al Hajj: 36).

Sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan utang dari pada berqurban. Di antaranya adalah Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net di bawah pengawasan Dr. Abdullah Al Faqih (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198 & 28826). Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: ” Jika orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan utang dari pada berqurban . “( Syarhul Mumti ‘ 7 / 455). Bahkan Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi qurban karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit hutang, dan beliau jawab: ” Jika di hadapkan dua permasalahan antara berqurban atau melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama melunasi hutang, lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah kerabat dekat . “(lih. Majmu ‘Fatawa & Risalah Ibn Utsaimin 18/144).

Namun pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam memandang kondisi orang yang berhutang. Sikap ulama yang menyarankan untuk berhutang ketika qurban dipahami untuk kasus orang yang keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau kasus hutang yang jatuh temponya masih panjang. Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan utang dari pada qurban dipahami untuk kasus orang yang kesulitan melunasi hutang atau hutang yang menuntut segera dilunasi. Dengan demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai utang yang jatuh temponya panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah satu hal yang baik. Wallahu a’lam.

Qurban Kerbau?

Para ulama ‘menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya disikapi sebagai satu jenis ( Mausu’ah Fiqhiyah Quwaithiyah 2 / 2975). Ada beberapa ulama yang secara tegas memungkinkan berqurban dengan kerbau, dari kalangan Syafi’iyah (lih. Hasyiyah Al Bajirami ) maupun dari Hanafiyah (lih. Al ‘Inayah Syarh Hidayah 14/192 dan Fathul Qodir 22/106). Mereka menganggap keduanya satu jenis.

Syaikh Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.

Pertanyaan:

“Kerbau dan sapi memiliki perbedaan dalam banyak sifat sebagaimana kambing dengan domba. Namun Allah telah merinci penyebutan kambing dengan domba tetapi tidak merinci penyebutan kerbau dengan sapi, sebagaimana disebutkan dalam surat Al An’am 143. Apakah bisa berkurban dengan kerbau? ”

Beliau menjawab:

“Jika hakekat kerbau termasuk sapi maka kerbau sebagaimana sapi namun jika tidak maka (jenis hewan) yang Allah sebut dalam alqur’an adalah jenis hewan yang dikenal orang arab, sedangkan kerbau tidak termasuk hewan yang dikenal orang arab.” ( Liqa ‘Babil Maftuh 200 / 27)

Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa pada penjelasan ulama di atas maka bisa disimpulkan bahwa qurban kerbau hukumnya sah, karena kerbau sejenis dengan sapi. Wallahu a’lam.

Urunan Qurban Satu Sekolahan

Ada satu tradisi di lembaga pendidikan di daerah kita, ketika iedul adha tiba sebagian sekolahan mendorong kegiatan pelatihan qurban untuk siswa. Masing-masing siswa dibebani iuran sejumlah uang tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli kambing dan disembelih di hari-hari qurban. Apakah ini bisa dinilai sebagai ibadah qurban?

Butuh dipahami bahwa qurban adalah salah satu ibadah dalam islam yang memiliki aturan tertentu sebagaimana yang digariskan oleh syari’at. Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai sebagai ibadah qurban alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan tersebut adalah masalah pembiayaan. Sebagaimana dipahami di muka, biaya pengadaan untuk seekor kambing hanya bisa diambilkan dari satu orang. Oleh karena itu kasus tradisi ‘qurban’ seperti di atas tidak dapat dinilai sebagai qurban .

Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?

Berqurban untuk orang yang telah meninggal dapat dirinci menjadi tiga bentuk:

Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya meskipun ada yang sudah meninggal.
Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah pada nama mayit (lih. Fatwa Majelis Ulama Saudi no. 1474 & 1765). Namun sebagian ulama ‘bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tidak ada riwayat bahwasanya beliau berkurban pada nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang mendahului beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuknya jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti ‘ yang diambil dari Risalah Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin 51.
Umur Hewan Qurban

Untuk onta dan sapi: Jabir meriwayatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali saat itu menyulitkan bagi kalian maka kalian bisa menyembelihdomba jadza’ah. ” (Muttafaq ‘alaih)

Musinnah adalah hewan ternak yang sudah dewasa, dengan rincian:

No. Hewan Umur minimal
1. Onta 5 tahun
2. Sapi 2 tahun
3. Kambing jawa 1 tahun
4.Domba / kambing gembel 6 bulan (domba Jadza’ah )

(Lihat Shahih Fiqih Sunnah , II/371-372, Syarhul Mumti ‘ , III/410, Taudhihul Ahkaam , IV/461)

Cacat Hewan Qurban

Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:

Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban , ada 4 (**):

Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya: Jika butanya belum jelas – orang yang melihatnya menilai belum buta – meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi maka dapat diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. ulama ‘madzhab Syafi’iyah menegaskan hewan yang rabun bisa digunakan untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
Sakit dan tampak sekali sakitnya.
Pincang dan tampak jelas pincangnya: Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru terlihat pincang namun bisa berjalan dengan baik maka bisa dijadikan hewan qurban.
Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.
Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat pada maka lebih tidak bisa untuk digunakan berqurban. (Lih. Shahih Fiqih Sunnah , II/373 & Syarhul Mumti ‘ 3 / 294).

Cacat yang menyebabkan makruh untuk berkurban , ada 2 (***):

Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
Tanduknya pecah atau patah (lihat Shahih Fiqih Sunnah , II/373)
Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (bisa dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.

Selain 6 jenis cacat pada atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. Wallahu a’lam

(Lihat Shahih Fiqih Sunnah , II/373)

(**) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang cacat hewan apa yang harus dihindari ketika berqurban. Beliau menjawab: “Ada empat cacat … dan beliau berisyarat dengan tangannya.” (HR. Ahmad 4 / 300 & Abu Daud 2802, dinyatakan Hasan-Shahih oleh Turmudzi). Sebagian ulama menjelaskan bahwa sinyal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangannya ketika menyebutkan empat cacat tersebut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi jenis cacat yang terlarang. Sehingga yang bukan termasuk empat jenis cacat sebagaimana dalam hadits bisa digunakan sebagai qurban. ( Syarhul Mumthi ‘ 7 / 464)

(***) Ada hadits yang menyatakan larangan berkurban dengan hewan yang memilki dua cacat, telinga terpotong atau tanduk pecah. Namun hadisnya dlo’if, sehingga sebagian ulama menggolongkan cacat jenis kedua ini hanya menyebabkan makruh dipakai untuk qurban. ( Syarhul Mumthi ‘ 7 / 470)

Hewan yang Disukai dan Lebih Utama untuk diqurbankan

Hendaknya hewan yang diqurbankan adalah hewan yang gemuk dan sempurna. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “… barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya itu adalah berasal dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32). Berdasarkan ayat ini Imam Syafi’i rahimahullah menyatakan bahwa orang yang berqurban disunnahkan untuk memilih hewan qurban yang besar dan gemuk. Abu Umamah bin Sahl mengatakan, “Dahulu kami di Madinah biasa memilih hewan yang gemuk dalam berqurban. Dan memang kebiasaan kaum muslimin saat itu adalah berqurban dengan hewan yang gemuk-gemuk. ” (HR. Bukhari secara mu’allaq namun secara tegas dan dimaushulkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Mustakhraj , sanadnya hasan)

Diantara ketiga jenis hewan qurban maka menurut mayoritas ulama yang paling utama adalah berqurban dengan onta, kemudian sapi kemudian kambing, jika biaya pengadaan masing-masing ditanggung satu orang (bukan urunan). Dalilnya adalah jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Abu Dzar radhiallahu ‘anhu tentang budak yang lebih utama. Beliau bersabda, “Yaitu budak yang lebih mahal dan lebih bernilai dalam pandangan pemiliknya” (HR. Bukhari dan Muslim). (Lihat Shahih Fiqih Sunnah , II/374)

Manakah yang Lebih Baik, Ikut Urunan Sapi atau Qurban Satu Kambing?

Sebagian ulama menjelaskan qurban satu kambing lebih baik dari pada ikut urunan sapi atau onta, karena tujuh kambing manfaatnya lebih banyak dari pada seekor sapi (lih. Shahih Fiqh Sunnah , 2 / 375, Fatwa Lajnah Daimah no. 1149 & Syarhul Mumthi ‘ 7 / 458 ). Disamping itu, ada alasan lain diantaranya:

Qurban yang sering dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utuh satu ekor, baik kambing, sapi, maupun onta, bukan 1 / 7 sapi atau 1 / 10 onta.
Kegiatan menyembelihnya lebih banyak. Lebih-lebih jika hadis yang menyebutkan keutamaan qurban di atas statusnya shahih. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh penulis kitab Al Muhadzab Al Fairuz Abadzi As Syafi’i . (Lih. Al Muhadzab 1 / 74)
Ada sebagian ulama yang melarang urunan dalam berkurban, diantaranya adalah Mufti Negri Saudi Syaikh Muhammad bin Ibrahim (lih. Fatwa Lajnah 11/453). Namun pelarangan ini didasari dengan qiyas (analogi) yang bertolak belakang dengan dalil sunnah, sehingga jelas salahnya.
Apakah Harus Jantan?

Tidak ada ketentuan jenis kelamin hewan qurban. Bisa jantan maupun betina. Dari Umu Kurzin radliallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aqiqah untuk anal laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing. Tidak jadi masalah jantan maupun betina. ” (HR. Ahmad 27900 & An Nasa’i 4218 dan dishahihkan Syaikh Al Albani). Berdasarkan hadits ini, Al Fairuz Abadzi As Syafi’i mengatakan: “Jika dibolehkan menggunakan hewan betina ketika aqiqah berdasarkan hadits ini, menunjukkan bahwa hal ini juga bisa untuk berqurban.” ( Al Muhadzab 1 / 74)

Namun umumnya hewan jantan itu lebih baik dan lebih mahal dibandingkan hewan betina. Oleh karena itu, tidak harus hewan jantan namun diutamakan jantan.

Larangan Bagi yang Hendak Berqurban

Orang yang ingin berkurban dilarang memotong kuku dan memotong rambutnya (yaitu orang yang ingin qurban bukan hewan qurbannya). Dari Ummu Salamah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Bila engkau telah memasuki sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah) sedangkan diantara kalian ingin berqurban maka janganlah dia menyentuh sedikitpun bagian dari rambut dan kulitnya.” (HR. Muslim). Larangan tersebut berlaku untuk cara apapun dan untuk bagian manapun, mencakup larangan mencukur gundul atau sebagian saja, atau sekedar mencabutinya. Baik rambut itu tumbuh di kepala, kumis, sekitar kemaluan maupun di ketiak (lihat Shahih Fiqih Sunnah , II/376).

Apakah larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga ataukah berlaku juga untuk anggota keluarga shohibul qurban?

Jawab: Larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga (shohibul qurban) dan tidak terjadi untuk anggota keluarganya. Karena 2 alasan:

Dlahir hadis menunjukkan bahwa larangan ini hanya berlaku untuk yang mau berqurban.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berqurban untuk dirinya dan keluarganya. Namun belum ditemukan riwayat bahwasanya beliau menyuruh anggota keluarganya untuk tidak memotong kuku maupun rambutnya. ( Syarhul Mumti ‘ 7 / 529)
Waktu Penyembelihan

Waktu penyembelihan qurban adalah di hari Iedul Adha dan 3 hari sesudahnya (hari tasyriq). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap hari taysriq adalah (hari) untuk menyembelih (qurban).” (HR. Ahmad dan Baihaqi) Tidak ada perbedaan waktu siang atau malam. Baik siang maupun malam sama-sama dibolehkan. Namun menurut Syaikh Al Utsaimin, melakukan penyembelihan di waktu siang itu lebih baik. ( Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi , hal. 33). Para ulama sepakat bahwa penyembelihan qurban tidak bisa dilakukan sebelum terbitnya fajar di hari Iedul Adha. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat Ied maka sesungguhnya dia menyembelih untuk dirinya sendiri (bukan qurban). Dan barangsiapa yang menyembelih sesudah shalat itu maka qurbannya sempurna dan dia telah memenuhi sunnahnya kaum muslimin. ” (HR. Bukhari dan Muslim) (lihat Shahih Fiqih Sunnah , II/377)

Tempat Penyembelihan

Tempat yang disunnahkan untuk menyembelih adalah tanah lapangan tempat shalat ‘ied diselenggarakan. Terutama untuk imam / penguasa / tokoh masyarakat, dianjurkan untuk menyembelih qurbannya di lapangan dalam rangka memberitahukan kepada kaum muslimin bahwa qurban sudah bisa dilakukan dan mengajari tata cara qurban yang baik. Ibnu ‘Umar mengatakan, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyembelih kambing dan onta (qurban) di lapangan tempat shalat.” (HR. Bukhari 5552).

Dan dibolehkan untuk menyembelih qurban di tempat manapun yang disukai, baik di rumah sendiri atau di tempat lain. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah , II/378)

Jagal Qurban

Disunnahkan untuk shohibul qurban untuk menyembelih hewan qurbannya sendiri namun bisa diwakilkan kepada orang lain. Syaikh Ali bin Hasan mengatakan: “Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama ‘dalam masalah ini.” Hal ini berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu di dalam Shahih Muslim yang menceritakan bahwa pada saat qurban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyembelih beberapa onta qurbannya dengan tangan beliau sendiri kemudian sisanya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu untuk disembelih. (Lih. Ahkaamul Idain , 32)

Tata Cara Penyembelihan

Sebaiknya pemilik qurban menyembelih hewan qurbannya sendiri.
Bila pemilik qurban tidak bisa menyembelih sendiri maka sebaiknya dia ikut datang menyaksikan penyembelihannya.
Hendaknya memakai alat yang tajam untuk menyembelih.
Hewan yang disembelih dibaringkan di atas lambung kirinya dan dihadapkan ke kiblat. Kemudian pisau ditekan kuat-kuat agar cepat putus.
Ketika akan menyembelih disyari’akan membaca ” Bismillaahi wallaahu akbar “ketika menyembelih. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar Rahman dan Ar Rahiim) hukumnya wajib menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, sedangkan menurut Imam Syafi’i hukumnya sunnah. Adapun bacaan takbir – Allahu akbar – para ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah sunnah dan bukan wajib. Kemudian diikuti bacaan:
hadza minka wa laka. ” (HR. Abu Dawud 2795) Atau
hadza minka wa laka ‘anni atau’ an fulan (disebutkan nama shahibul qurban). ” atau
Berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, “Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban) “(lih. Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi , hal. 92) Catatan : Tidak ada do’a khusus yang panjang untuk shohibul qurban ketika akan menyembelih. Wallahu a’lam.
Dapatkah Mengucapkan Shalawat Ketika Menyembelih?

Tidak bisa mengucapkan shalawat ketika hendak menyembelih, karena 2 alasan:

Tidak ada dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan shalawat ketika menyembelih. Sementara beribadah tanpa dalil adalah perbuatan bid’ah.
Bisa jadi orang akan membuat nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sarana ketika qurban. Atau bahkan bisa jadi seseorang membayangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih, sehingga sembelihannya tidak murni untuk Allah. (Lih. Syarhul Mumti ‘ 7 / 492)
Pemanfaatan Hasil Sembelihan

Untuk pemilik hewan qurban dibolehkan memanfaatkan daging qurbannya, melalui:

Dimakan sendiri dan keluarganya, bahkan sebagian ulama menyatakan shohibul qurban wajib makan bagian hewan qurbannya. Termasuk dalam hal ini adalah berqurban karena nadzar menurut pendapat yang benar.
Disedekahkan kepada orang yang membutuhkan
Dihadiahkan kepada orang yang kaya
Disimpan untuk bahan makanan di lain hari. Namun penyimpanan ini hanya dibolehkan jika tidak terjadi musim paceklik atau krisis makanan.
Dari Salamah bin Al Akwa ‘dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa diantara kalian yang berqurban maka jangan sampai dia menemukan subuh hari ketiga sesudah Ied sedangkan dagingnya masih tersisa meskipun sedikit.” Ketika datang tahun berikutnya maka para sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu?” Maka beliau menjawab, “(Adapun sekarang) Makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami kesulitan (makanan) sehingga aku berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu. ” (HR. Bukhari dan Muslim). Menurut mayoritas ulama perintah yang ada dalam hadits ini menunjukkan hukum sunnah, bukan wajib (lihat Shahih Fiqih Sunnah , II/378) Karena itu, bisa mensedekahkan semua hasil sembelihan qurban. Sebagaimana diperbolehkan untuk tidak menghadiahkan (kepada orang kaya, ed.) Sama sekali kepada orang lain ( Minhaajul Muslim , 266). (Artinya hanya untuk shohibul qurban dan sedekah pada orang miskin, ed.)

Dapatkah Memberikan Daging Qurban Kepada Orang Kafir?

Ulama madzhab Malikiyah berpendapat makruhnya memberikan daging qurban kepada orang kafir, sebagaimana kata Imam Malik: “(diberikan) kepada selain mereka (orang kafir) lebih aku sukai.” Sedangkan Syafi’iyah berpendapat haramnya memberikan daging qurban kepada orang kafir untuk qurban yang wajib ( misalnya qurban nadzar, pen.) dan makruh untuk qurban yang sunnah. (Lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 29843). Al Baijuri As Syafi’I mengatakan : “Dalam Al Majmu ‘(Syarhul Muhadzab) disebutkan, bisa memberikan sebagian qurban sunnah kepada kafir Dzimmi yang faqir. Tapi ketentuan ini tidak berlaku untuk qurban yang wajib. ” ( Hasyiyah Al Baijuri 2 / 310)

Lajnah Daimah (Majlis Ulama ‘saudi Arabia) ditanya tentang bisakah memberikan daging qurban kepada orang kafir.

Jawaban Lajnah:

“Kita dibolehkan memberi daging qurban kepada orang kafir Mu’ahid (****) baik karena statusnya sebagai orang miskin, kerabat, tetangga, atau karena dalam rangka menarik simpati mereka … namun tidak dibolehkan memberikan daging qurban kepada orang kafir Harby, karena kewajiban kita ke kafir harby adalah merendahkan mereka dan melemahkan kekuatan mereka. Hukum ini juga berlaku untuk pemberian sedekah. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah:

” Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil . “(QS. Al Mumtahanah 8)

Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Asma’ binti Abu Bakar radhiallahu ‘anhu untuk menemukan ibunya dengan membawa harta padahal ibunya masih musyrik. ” ( Fatwa Lajnah Daimah no. 1997).

Kesimpulannya, memberikan bagian hewan qurban kepada orang kafir dibolehkan karena status hewan qurban sama dengan sedekah atau hadiah, dan diperbolehkan memberikan sedekah maupun hadiah kepada orang kafir. Sedangkan pendapat yang melarang adalah pendapat yang tidak kuat karena tidak berdalil.

(****) Kafir Mu’ahid : Orang kafir yang mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Termasuk orang kafir mu’ahid adalah orang kafir yang masuk ke negeri islam dengan izin resmi dari pemerintah. Kafir Harby : Orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Kafir Dzimmi : Orang kafir yang hidup di bawah kekuasaan kaum muslimin.

Larangan memperjual-Belikan Hasil Sembelihan

Tidak diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan sembelihan, baik daging, kulit, kepala, teklek, bulu, tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan onta qurbannya. Ia juga memerintahkan saya untuk membagikan semua kulit tubuh dan kulit punggungnya. Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal. ” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan ada ancaman keras dalam masalah ini, sebagaimana hadits berikut:

من باع جلد أضحيته فلا أضحية له

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka ibadah qurbannya tidak ada nilainya . ” (HR. Al Hakim 2 / 390 & Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan: Hasan)

Tetang haramnya pemilik hewan menjual kulit qurban merupakan pendapat mayoritas ulama, meskipun Imam Abu Hanifah menyelisihi mereka. Namun mengingat dalil yang sangat tegas dan jelas maka pendapat siapapun harus disingkirkan.

Catatan :

Termasuk memperjual-belikan bagian hewan qurban adalah mengganti kulit atau kepala dengan daging atau menjual kulit untuk kemudian dibelikan kambing. Karena hakekat jual-beli adalah tukar-menukar meskipun dengan selain uang.
Transaksi jual-beli kulit hewan qurban yang belum dibagikan adalah transaksi yang tidak sah. Artinya penjual tidak bisa menerima uang hasil penjualan kulit dan pembeli tidak berhak menerima kulit yang dia beli. Hal ini sebagaimana kata Al Baijuri: “Tidak sah jual beli (bagian dari hewan qurban) disamping transaksi ini adalah haram.” Ia juga mengatakan: “Jual beli kulit hewan qurban juga tidak sah karena hadis yang diriwayatkan Hakim (baca: hadis di atas) . ” ( Fiqh Syafi’i 2 / 311).
Untuk orang yang menerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya, baik dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena ini sudah menjadi haknya. Sedangkan menjual kulit yang dilarang adalah menjual kulit sebelum dibagikan (disedekahkan), baik yang dilakukan panitia maupun shohibul qurban.
Larangan Mengupah Jagal Dengan Bagian Hewan Sembelihan

Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bahwa “Beliau pernah diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurusi penyembelihan ontanya dan agar membagikan seluruh bagian dari sembelihan onta tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun pelana. Dan dia tidak bisa memberikannya kepada jagal agak sedikit. ” (HR. Bukhari dan Muslim) dan dalam lafaz lainnya beliau berkata, “Kami mempekerjakannya dari uang kami pribadi.” (HR. Muslim) . Danini merupakan pendapat mayoritas ulama (lihat Shahih Fiqih Sunnah , II/379)

Syaikh Abdullah Al Bassaam mengatakan, “Tukang jagal tidak bisa diberi daging atau kulitnya sebagai bentuk upah atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Yang diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika dia termasuk orang kaya atau sebagai sedekah jika ternyata dia adalah miskin … .. ” ( Taudhihul Ahkaam , IV/464). Pernyataan beliau semakna dengan pernyataan Ibn Qosim yang mengatakan: “Haram menjadikan bagian hewan qurban sebagai upah untuk jagal.” kata beliau ini dikomentari oleh Al Baijuri: “Karena hal itu (mempekerjakan jagal) semakna dengan jual beli. Namun jika jagal diberi bagian dari qurban dengan status sedekah bukan upah maka tidak haram. ” ( Hasyiyah Al Baijuri As Syafi’i 2 / 311).

Adapun untuk orang yang memperoleh hadiah atau sedekah daging qurban diperbolehkan memanfaatkannya sekehendaknya, bisa dimakan, dijual atau yang lainnya. Akan tetapi tidak diperkenankan menjualnya kembali kepada orang yang memberi hadiah atau sedekah kepadanya ( Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi , 69)

Menyembelih Satu Kambing Untuk Makan-Makan Panitia? Atau Panitia Dapat Jatah Khusus?

Status panitia maupun jagal dalam manajemen hewan qurban adalah sebagai wakil dari shohibul qurban dan bukan amil (*****). Karena statusnya hanya sebagai wakil maka panitia qurban tidak diperkenankan mengambil bagian dari hewan qurban sebagai ganti dari jasa dalam mengurusi hewan qurban. Untuk lebih memudahkan bisa diperhatikan ilustrasi kasus berikut:

Adi ingin mengirim uang Rp 1 juta kepada Budi. Karena tidak bisa ketemu langsung maka Adi mengutus Rudi untuk mengantarkan uang tersebut kepada Budi. Karena harus ada biaya transport dan biaya lainnya maka Adi memberikan sejumlah uang kepada Rudi. Dapatkah uang ini diambilkan dari uang Rp 1 juta yang akan dikirimkan ke Budi?? Semua orang akan menjawab: “TIDAK KARENA BERARTI MENGURANGI uangnya BUDI.”

Status Rudi pada kasus di atas hanyalah sebagai wakil Adi. Demikian pula qurban. Status panitia hanya sebagai wakil pemilik hewan, sehingga dia tidak bisa mengambil bagian qurban sebagai ganti dari jasanya. Oleh karena itu, jika menyembelih satu kambing untuk makan-makan panitia, atau panitia dapat jatah khusus sebagai ganti jasa dari kerja yang dilakukan panitia maka ini tidak diperbolehkan.

(*****) Sebagian orang menyamakan status panitia qurban sebagaimana status amil dalam zakat. Bahkan mereka meyebut panitia qurban dengan ‘amil qurban’. Akibatnya mereka beranggapan panitia memiliki jatah khusus dari hewan qurban sebagaimana amil zakat memiliki jatah khusus dari harta zakat. Yang benar, amil zakat tidak sama dengan panitia manajer qurban. Karena untuk bisa disebut amil, harus memenuhi beberapa persyaratan. Sementara manajer qurban hanya sebatas wakil dari shohibul qurban, sebagaimana status sahabat Ali radhiallahu ‘anhu dalam mengurusi qurban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dan tidak ada riwayat Ali radhiallahu ‘anhu mendapat jatah khusus dari qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Nasehat & Solusi Untuk Masalah Kulit

Satu penyakit kronis yang menimpa ibadah qurban kaum muslimin bangsa kita, mereka tidak bisa lepas dari ‘fiqh praktis’ menjual kulit atau mempekerjakan jagal dengan kulit. Memang kita akui ini adalah jalan pintas yang paling cepat untuk melepaskan diri dari tanggungan mengurusi kulit. Namun apakah jalan pintas cepat ini menjamin keamanan??? Bertaqwalah kepada Allah wahai kaum muslimin … Sesungguhnya ibadah qurban telah diatur dengan indah dan rapi oleh Sang peletak Syari’ah. Jangan coba-coba untuk keluar dari aturan ini karena bisa jadi qurban kita tidak sah. Berusahalah untuk senantiasa berjalan sesuai syari’at meskipun jalurnya ‘kelihatannya’ lebih panjang dan sedikit menyibukkan. Jangan pula terkecoh dengan pendapat sebagian orang, baik ulama maupun yang ngaku-ngaku ulama, karena orang yang berhak untuk ditaati secara mutlak hanya satu yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka semua pendapat yang bertentangan dengan hadits beliau harus dibuang jauh-jauh.

Tidak perlu bingung dan merasa repot. Bukankah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah mengurusi qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jumlahnya 100 ekor onta?! Tapi tidak ada dalam catatan sejarah Ali bin Abi thalib radhiallahu ‘anhu bingung ngurusi kulit dan kepala. Demikianlah fasilitas yang Allah berikan untuk orang yang 100% mengikuti aturan syari’at. Namun untuk mereka (baca: panitia) yang masih merasa bingung ngurusi kulit, bisa dilakukan beberapa solusi berikut:

Kumpulkan semua kulit, kepala, dan kaki hewan qurban. Tampilkan sejumlah orang miskin sebagai sasaran penerima kulit. Tidak perlu diantar ke rumahnya, tapi cukup hubungi mereka dan sampaikan bahwa panitia siap menjualkan kulit yang sudah menjadi hak mereka. Dengan demikian, status panitia dalam hal ini adalah sebagai wakil untuk pemilik kulit untuk menjualkan kulit, bukan wakil dari shohibul qurban dalam menjual kulit.
Serahkan semua atau sebagian kulit kepada yayasan islam sosial (misalnya panti asuhan atau pondok pesantren). (Ada Fatwa Lajnah yang memungkinkan menyerahkan bagian hewan qurban kepada yayasan).
Mengirim sejumlah uang untuk dibelikan hewan qurban di tempat tujuan (di luar daerah pemilik hewan) dan disembelih di tempat tersebut? atau mengirimkan hewan hidup ke tempat lain untuk di sembelih di sana?

Awalnya tempat menyembelih qurban adalah daerah orang yang berkurban. Karena orang-orang yang miskin di daerahnya itulah yang lebih berhak untuk disantuni. Sebagian Syafi’iyah mengharamkan mengirim hewan qurban atau uang untuk membeli hewan qurban ke tempat lain – di luar tempat tinggal shohibul qurban – selama tidak ada maslahat yang menuntut hal itu, seperti penduduk tempat shohibul qurban yang sudah kaya sementara penduduk tempat lain sangat membutuhkan. Sebagian ulama memungkinkan secara mutlak (meskipun tidak ada klaim maslahat). Sebagai jalan keluar dari perbedaan pendapat, sebagian ulama menasehatkan agar tidak mengirim hewan qurban ke selain tempat tinggalnya. Artinya tetap disembelih di daerah shohibul qurban dan yang dikirim keluar adalah dagingnya. (Lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 2997, 29048, dan 29843 & Shahih Fiqih Sunnah , II/380

Kesimpulannya, berqurban dengan model seperti ini (mengirim hewan atau uang dan bukan daging) termasuk qurban yang sah namun menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tiga hal:

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum tidak pernah mengajarkannya
Hilangnya sunnah anjuran untuk disembelih sendiri oleh shohibul qurban
Hilangnya sunnah anjuran untuk makan bagian dari hewan qurban.
Wallaahu waliyut taufiq.

Untuk para pembaca yang ingin membaca penjelasan yang lebih lengkap dan memuaskan silakan baca buku Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diterjemahkan Ustadz Aris Munandar hafizhahullah dari Talkhish Kitab Ahkaam Udh-hiyah wadz Dzakaah karya Syaikh Al Utsaimin rahimahullah , penerbit Media Hidayah. Semoga risalah yang singkat sebagai pelengkap untuk tulisan saudaraku Abu Muslih hafizhahullah ini akan dan menjadi amal yang diterima oleh Allah ta’ala, sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta seluruh pengikut beliau yang setia. Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin.

Yogyakarta, 1 Dzul Hijjah 1428

Prioritas Tanggal 1 Sampai 10 Dzul Hijjah

Dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام – يعني أيام العشر – قالوا: يا رسول الله ولا الجهاد في سبيل الله? قال: ولا الجهاد في سبيل الله, إلا رجل خرج بنفسه وماله, فلم يرجع من ذلك بشيء.

” Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan selama 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah. “Para sahabat bertanya:” Tidak pula jihad? “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:” Tidak pula jihad, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun . “(HR. Abu Daud & dishahihkan Syaikh Al Albani)

Berdasarkan hadits tersebut, ulama ‘sepakat dianjurkannya berpuasa selama 8 hari pertama bulan Dzul Hijjah. Dan lebih ditekankan lagi pada tanggal 9 Dzul Hijjah (Hari ‘Arafah)

Diceritakan oleh Al Mundziri dalam At Targhib (2 / 150) bahwa Sa’id bin Jubair (Murid terbaik Ibn Abbas) ketika memasuki tanggal satu Dzul Hijjah, beliau sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah sampai hampir tidak bisa mampu melakukannya.

Bagaimana dengan Puasa Hari Tarwiyah (8 Dzul Hijjah) Secara Khusus?

Ada hadits yang menyatakan: “Orang yang berpuasa pada hari Tarwiyah maka baginya pahala puasa satu tahun.” Namun hadits ini hadits palsu sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Zauzy ( Al Maudhu’at 2 / 198), As Suyuthi ( Al Masnu ‘ 2 / 107) , As Syaukani ( Al Fawaidul Majmu’ah ).

Oleh karena itu, tidak perlu berniat khusus untuk berpuasa pada tanggal 8 Dzul Hijjah karena hadisnya dhaif. Namun jika berpuasa karena mengamalkan keumuman hadits shahih di atas maka diperbolehkan. (Disarikan dari Fatwa Yas-aluunaka , Syaikh Hissamuddin ‘Affaanah). Wallaahu a’lam.

***

Penulis: Ammi Nur baits
Artikel http://www.muslim.or.id
Artikel ini merupakan tulisan yang melengkapi artikel tentang Fiqh Qurban yang ditulis Al Akh Al Fadhil Abu Mushlih Ari Wahyudi

Mencari Gelar “Pak Haji”

Ibadah haji adalah ibadah yang teramat mulia. Sungguh sangat sulit untuk saat ini berangkat langsung dari tanah air karena antrian yang saking panjangnya. Namun demikian antusias orang di negeri kita di mana mereka sangat merindukan ka’bah di tanah suci. Sampai-sampai berbagai cara ditempuh dan dijalani untuk bisa ke sana meskipun dengan cara yang tidak Allah ridhoi. Selain itu tidak sedikit yang niatnya untuk selain Allah, hanya ingin mencari gelar. Label pak Haji-lah yang ingin disandang bukanlah ridho dan pahala dari Allah yang dicari. Sampai-sampai ada yang mengharuskan di depan namanya harus dilabeli gelar “H”.


Keutamaan Haji Mabrur

Haji adalah amalan yang teramat mulia. Sampai-sampai yang berhaji disebut dengan tamu Allah dan apa saja yang mereka panjatkan di-Nya mudah diperkenankan. Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الغازى فى سبيل الله والحاج والمعتمر وفد الله دعاهم فأجابوه وسألوه فأعطاهم

“Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji dan berumroh adalah tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika mereka meminta kepada Allah pasti akan Allah beri “(HR. Ibnu Majah no 2893. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Amalan haji terutama haji mabrur termasuk dalam jajaran praktek yang paling afdhol. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

سئل النبى – صلى الله عليه وسلم – أى ​​الأعمال أفضل قال «إيمان بالله ورسوله». قيل ثم ماذا قال «جهاد فى سبيل الله». قيل ثم ماذا قال «حج مبرور»

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya,” Amalan apa yang paling afdhol? “Beliau shallallahu’ alaihi wa sallam menjawab,” Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. “Ada yang bertanya,” Kemudian apa lagi? “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” “Haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. “(HR. Bukhari no. 1519)

Dan haji pun termasuk jihad. Dari ‘Aisyah-ummul Mukminin-radhiyallahu’ anha, ia berkata,

يا رسول الله, نرى الجهاد أفضل العمل, أفلا نجاهد قال «لا, لكن أفضل الجهاد حج مبرور»

“Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad??? “Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur “, jawab Nabi shallallahu?? Alaihi wa sallam.?? (HR. Bukhari no. 1520)

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Haji dan umroh termasuk jihad. Karena dalam praktek tersebut seseorang berjihad dengan harta, jiwa dan badan. Sebagaimana Abusy Sya’tsa ‘berkata,’ Aku telah memperhatikan pada praktek kebaikan. Dalam shalat, ada jihad dengan badan, tidak dengan harta. Begitu halnya pula dengan puasa. Sedangkan dalam haji, ada jihad dengan harta dan badan. Ini menunjukkan bahwa praktek haji lebih afdhol ‘. “(Lathoif Al Ma’arif, 403)

Balasan untuk haji mabrur adalah surga, ini sungguh balasan yang luar biasa. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

والحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة

“Dan haji mabrur tidak ada balasan yang cepat baginya selain surga. “(HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349).

Apa itu Haji Mabrur?

Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Haji mabrur adalah jika sepulang haji menjadi orang yang zuhud dengan dunia dan merindukan akherat.”

Al Qurthubi rahimahullah menyimpulkan, “Haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori oleh maksiat saat melaksanakan manasik dan tidak lagi gemar bermaksiat setelah pulang haji.” (Tafsir Al Qurthubi, 2 / 408)

An Nawawi rahimahullah berkata, “Pendapat yang paling kuat dan yang paling terkenal, haji mabrur adalah haji yang tidak ternodai oleh dosa, diambil dari kata-kata ‘birr’ yang berarti ketaatan. Ada juga yang berpendapat bahwa haji mabrur adalah haji yang diterima. Di antara tanda diterimanya haji seseorang adalah adanya perubahan menuju yang lebih baik setelah pulang dari pergi haji dan tidak membiasakan diri melakukan berbagai maksiat. Ada pula yang mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri unsur riya ‘. Ulama yang lain berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi bermaksiat. Dua pendapat yang terakhir telah tercakup dalam pendapat-pendapat sebelumnya. “(Syarh Shahih Muslim, 9/118-119)

Demikianlah kriteria haji mabrur. Kriteria penting pada haji mabrur adalah haji tersebut dilakukan dengan ikhlas dan bukan atas dasar riya ‘, bukan ingin mencari pujian, bukan ingin disebut “Pak Haji”.

Ikhlaslah dalam Ibadah

Dalam setiap ibadah kita diperintahkan untuk ikhlas di dalamnya. Kita diperintahkan beribadah untuk mengharap wajah Allah dan mengharap ridho-Nya. Jika kita beribadah malah ingin mencari pujian, maka jadi sia-sialah ibadah tersebut. Termasuk di dalamnya menunaikan haji hanya ingin mencari gelar pak haji, segala pengorbanan yang kita tumpahkan dari sisi biaya maupun tenaga, itu jadi tidak bernilai apa-apa. Perintah Allah untuk ikhlas sebagaimana dalam firman-Nya,

وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة وذلك دين القيمة

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan agar mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. “(QS. Al Bayyinah: 5)

Allah pun mengetahui segala sesuatu yang ada dalam isi hati hamba apakah ia ikhlas ataukah ingin cari muka di depan manusia dalam ibadahnya. Allah Ta’ala berfirman,

قل إن تخفوا ما في صدوركم أو تبدوه يعلمه الله

“Katakanlah:” Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui “. “(QS. Ali Imran: 29)

Dalam ayat lainnya, Allah memperingatkan dari bahaya riya ‘atau ingin cari pujian manusia dalam firman-Nya,

لئن أشركت ليحبطن عملك

“Jika kamu mempersekutukan (Rabbmu), niscaya akan hapuslah amalmu. “(QS. Az Zumar: 65)

Dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang sia-sialah amalan yang hanya ingin cari muka atau cari pujian manusia dalam sabdanya,

قال الله تبارك وتعالى أنا أغنى الشركاء عن الشرك من عمل عملا أشرك فيه معى غيرى تركته وشركه

“Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya (maksudnya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan syiriknya. “(HR. Muslim no. 2985). Imam Nawawi mengatakan, “Makna hadits ini adalah bahwa Allah tidak peduli pada orang menyekutukan-Nya dalam ibadah dengan selain-Nya. Barangsiapa yang beramal yang dia tujukan untuk Allah dan ini untuk selain-Nya, maka Allah tidak akan menerima amalannya bahkan Allah akan meninggalkan dirinya jika ia berarti demikian. Amalan seseorang yang berbuat riya ‘(tidak ikhlas), itu adalah praktek batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia akan mendapatkan dosa. “(Syarh Shahih Muslim, 18/116). Artinya, siapa yang berhaji namun hanya ingin cari gelar, maka amalannya bisa jadi sia-sia belaka. Ikhlaslah dalam beribadah pada Allah Ta’ala. Abul Qosim berkata, “Ikhlas adalah membersihkan amal dari komentar manusia.” (At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, 50-51)

Amalan sholeh yang bisa disembunyikan lebih baik disembunyikan, tidak perlu seluruh dunia mengetahuinya dan tidak perlu ingin cari pujian orang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إن الله يحب العبد التقى الغنى الخفى

“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup dan yang suka menyembunyikan amalannya. “(HR. Muslim no. 2965). Basyr Al Hafiy mengatakan, “Tidak selayaknya orang-orang semisal kita menampakkan amalan sholih meskipun hanya sebesar dzarroh (semut kecil). Bagaimana lagi dengan praktek yang mudah terserang penyakit riya ‘? “Ibrahim An Nakho’i mengatakan,” Kami tidak suka menampakkan amalan sholih yang seharusnya disembunyikan. “Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa Abu Hazim berkata,” Sembunyikanlah amal kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan praktek kejelekanmu. “Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan,” Sebaik-baik ilmu dan amal adalah sesuatu yang tidak ditampakkan di depan manusia. “(Dinukil dari Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas).

Imam Al Ghozali mengatakan, “Yang tercela adalah saat seseorang menemukan pujian. Namun jika ia dipuji karena karunia Allah tanpa ia cari-cari, maka itu tidaklah tercela. ”

Semoga Allah menganugerahkan kita sifat ikhlas dalam beribadah kepada-Nya dan menjauhkan kita dari penyakit riya ‘yang dapat menghapus amal.

Riyadh KSA, 22 Syawwal 1432 H (20/09/2011)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://www.muslim.or.id

Penawaran Berdakwah Bersama Buletin Dar el Iman

kebutuhan manusia terhadap ilmu sudah mulai tampak, hal ini terlihat dengan maraknya berbagai media menyebar luaskan pemahamannya, ada yang shahih ada yang tidak jelas manhajnya, sementara keberadaan dai-dai ahlus sunnah sangat sedikit, oleh karena itu untuk mengembangkan sarana dakwah tersebut supaya bisa lebih tersebar dan dibaca oleh ummat, maka terketuk hati kami untuk mengembangkannya melalui buletin dakwah yang sudah kami mulai sejak tahun 2007 dan sekarang dikelola oleh divisi media yayasan dar el iman padang.
Dengan keterbatasan dana yang kita miliki, kita juga bisa berdakwah dengan ikut menyebarkan Buletin Dar el Iman karena siapa yang menunjuki orang kepada kebaikan maka pahalanya sama dengan orang yang melakukannya.
Kepada Kaum Muslimin dimanapun berada,kota Padang pada khususnya, Bisa menyebarkan buletin kepada Sanak saudara kita, keluarga, teman dikantor, di Kampus dan tidak kalah pentingnya dengan menyebarkannya di Masjid-Masjid yang ada di Kota Padang. Kota Padang cukup banyak memiliki Masjid, namun belum semuanya terjamah oleh Buletin Dar el Iman.

Disebabkan hal di atas, bagi kaum muslimin yang tergugah hatinya untuk ikut berdakwah. Kami mengajak untuk ikut menyebarkan Buletin Dakwah Dar el Iman dengan mengganti Biaya cetak sebesar Rp. 10.000,- untuk sebanyak 30 lembar. Besar biaya ini barulah sebatas seharga sebungkus nasi yang kita makan untuk badan kita. Namun dengan kita ikut berinfak untuk penyebaran buletin ini, maka kita telah ikut berdakwah dan menyebarkan islam, berapa banyak orang yang akan mendapat hidayah disebabkan membaca buletin, dan pahalanya akan mengalir selamanya kepada kita, tanpa di kurangi sedikitpun.

Bagi Kaum Muslimin yang terketuk Hatinya dapat menghubungi kami di no 085274898702 atau 0751 23541

Kapan Wanita Mulai sholat Zuhur Pada Hari Jum’at ?

Kita telah mengetahui bersama bahwa shalat Jumat tidaklah wajib bagi muslimah. Sebagai gantinya, ia melaksanakan shalat Zhuhur (empat rakaat) di rumahnya. Seringkali ditanyakan oleh para wanita, kapan mulainya shalat Zhuhur tersebut? Apakah ketika telah masuk waktu Zhuhur atau barangkali menunggu sampai shalat Jumat para pria di masjid selesai? Moga artikel sederhana ini bisa sebagai jawaban.
Al Lajnah Ad Daimah di Kerajaan Saudi Arabia pernah ditanya,

“Apa hukum menunaikan shalat jumat bagi wanita? Apakah ia melaksanakannya sebelum atau sesudah shalat para pria atau ia shalat bersama mereka (kaum pria)?”

Jawaban yang disampaikan oleh para ulama komisi fatwa Al Lajnah Ad Daimah,

“Wanita tidak wajib melaksanakan shalat Jum’at. Namun jika wanita melaksanakan shalat Jumat bersama imam shalat Jumat, shalatnya tetap dinilai sah. Jika ia shalat di rumahnya, maka ia kerjakan shalat Zhuhur empat rakaat. Ia boleh mulai mengerjakan shalat Zhuhur tadi setelah masuk waktu Zhuhur, yaitu setelah matahari tergelincir ke barat (waktu zawal). Dan sekali lagi dia tidak boleh laksanakan shalat jumat (di rumah) sebagaimana maksud keterangan sebelumnya.

Wa billahit taufiq. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.”

Fatwa di atas ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan selaku anggota dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud selaku anggota.

[Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 8/212, no. 4147, pertanyaan kedua]

Kesimpulannya, seorang wanita boleh melaksanakan shalat Zhuhur saat hari Jumat di rumah mulai sejak masuk waktu Zhuhur, tidak mesti menunggu sampai para jamaah pria selesai menunaikan shalat Jumat. Hal yang sama berlaku bagi orang yang udzur tidak bisa melaksanakan shalat Jumat seperti orang yang sakit.

Semoga sajian singkat ini menjadi ilmu bermanfaat bagi pengunjung setia rumaysho.com sekalian. Wallahu waliyyut taufiq.

Riyadh-KSA, 7 Rajab 1432 H (08/06/2011)

http://www.rumaysho.com

Kesamaan Dalih Para Penentang Dakwah Para Rasul

Allâh Ta’âla mengutus para rasul-Nya dengan tugas yang sama, menyeru manusia agar beribadah kepada Allâh Ta’âla semata dan menjauhi thâghût.

Allâh Ta’âla berfirman:

(Qs an-Nahl/16:36)

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul
pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
“Sembahlah Allâh (saja), dan jauhilah thâghût”,
maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allâh Ta’âla
dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.
Maka, berjalanlah kamu di muka bumi
dan perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). 

(Qs an-Nahl/16:36)

Dakwah para rasul ini merupakan seruan menuju hikmah diciptakannya manusia di dunia ini, sebagaimana firman-Nya:

(Qs adz-Dzâriyât/51:56)

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.

(Qs adz-Dzâriyât/51:56)

Maksudnya, Allâh Ta’âla menciptakan mereka (jin dan manusia) untuk beribadah kepada-Nya semata dan menjauhi peribadahan kepada selain-Nya.

SEMUA UMAT MENENTANG DENGAN ALASAN YANG SAMA

Semua umat menentang dakwah para rasul yang mulia dengan hujjah (argumen) yang sama, yaitu mengikuti kebiasaan nenek moyang mereka. Dahulu, orang-orang jahiliyah di Mekah –di zaman Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam– melakukan perbuatan syirik dengan tanpa bukti, tanpa petunjuk, dan tanpa argumen yang nyata, maka Allâh Ta’âla berfirman mengingkari mereka:[1]

(Qs az-Zukhruf/43:21-22)

Atau adakah Kami memberikan sebuah kitab kepada mereka sebelum al-Qur‘ân,
lalu mereka berpegang dengan kitab itu?
Bahkan mereka berkata:
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama,
dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk
dengan (mengikuti) jejak mereka.”

(Qs az-Zukhruf/43:21-22)

Inilah alasan perbuatan syirik mereka, yaitu mengikuti jejak nenek moyang. Oleh karena itu, Allâh Ta’âla menjelaskan bahwa alasan mereka itu juga merupakan alasan semua orang kafir pada zaman dahulu:

(Qs az-Zukhruf/43:23)

Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu
seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri,
melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata:
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama
dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.”

(Qs az-Zukhruf/43:23)

ARGUMEN KAUM NUH ‘ALAIHISSALAM

Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah rasul pertama kali yang diutus Allâh Ta’âla di muka bumi. Kaum beliau adalah orang-orang musyrik pertama kali di dunia ini. Beliau menyeru umat beliau untuk mengesakan ibadah hanya bagi Allâh Ta’âla semata, sebagaimana firman-Nya:

(Qs al-Mukminûn/23:23)

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh ‘alaihissalam kepada kaumnya,
lalu ia berkata:
“Hai kaumku, sembahlah Allâh,
(karena) sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain Dia.
Maka mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?”

(Qs al-Mukminûn/23:23)

Namun kaumnya mengingkari kerasulan beliau, dengan alasan bahwa mereka tidak pernah mendengar seruan Nabi Nûh ‘alaihissalam itu pada masa nenek moyang mereka.

Allâh Ta’âla berfirman memberitakan hal ini:

(Qs al-Mukminûn/23:24)

Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya menjawab:
“Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu,
yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu.
Dan kalau Allâh menghendaki,
tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat.
Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini
pada masa nenek moyang kami yang dahulu”.

(Qs al-Mukminûn/23:24)

ARGUMEN SUKU ‘AD, KAUM NABI HUD ‘ALAIHISSALAM

Setelah kehancuran kaum Nabi Nûh ‘alaihissalam, manusia menjadi banyak kembali. Muncul kemusyrikan pada suku ‘Ad, maka Allâh Ta’âla mengutus Nabi Hûd ‘alaihissalam:

(Qs al-A’râf/7:65)

Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Ad saudara mereka, Hûd.
Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allâh,
sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya.
Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?”

(Qs al-A’râf/7:65)

Kemudian lihatlah bantahan suku ‘Ad ini kepada Nabinya, mereka berargumen membela perbuatan syirik mereka dengan kebiasaan nenek moyang mereka!

(Qs al-A’râf/7:70)

Mereka berkata: “Apakah kamu datang kepada kami,
agar kami hanya menyembah Allâh saja dan
meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami?
Maka datangkanlah azab yang kamu ancamkan kepada kami
jika kamu termasuk orang-orang yang benar.”

(Qs al-A’râf/7:70)

ARGUMEN SUKU TSAMUD, KAUM NABI SHALIH ‘ALAIHISSALAM

Demikian juga suku Tsamûd, mereka melakukan syirik dengan sebab taqlîd kepada nenek moyang mereka. Dengan hikmah-Nya, Allâh Ta’âla mengutus Nabi Shâlih ‘alaihissalam kepada mereka:

Dan kepada Tsamûd (Kami utus) saudara mereka Shâleh.
Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allâh,
sekali-kali tidak ada bagimu tuhan selain Dia.
Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah)
dan menjadikan kamu pemakmurnya,
karena itu mohonlah ampunan-Nya,
kemudian bertobatlah kepada-Nya,
Sesungguhnya tuhanku amat dekat
lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).”
(Qs Hûd/11:61)

Namun bagaimana sikap suku Tsamûd? Mereka tidak berbeda dengan para pendahulu mereka sesama orang-orang kafir. Mereka menentang dakwah Nabi Shâlih ‘alaihissalam dengan alasan mengikuti nenek moyang!

(Qs Hûd/11:62)

Kaum Tsamûd berkata:
“Hai Shâlih, sesungguhnya sebelum ini kamu
adalah seorang di antara kami yang kami harapkan,
apakah kamu melarang kami untuk menyembah
apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?
dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan
terhadap agama yang kamu serukan kepada kami.” 

(Qs Hûd/11:62)

ARGUMEN KAUM IBRAHIM ‘ALAIHISSALAM

Allâh Ta’âla berfirman mengisahkan dakwah Nabi Ibrâhîm ‘alaihissalam kepada bapaknya dan kaumnya:

(Qs al-Anbiyâ’/21:51-52)

Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrâhîm
hidayah kebenaran sebelum (Mûsa dan Hârûn)
dan Kami mengetahui (keadaan)nya.
(Ingatlah), ketika Ibrâhîm berkata kepada bapaknya dan kaumnya:
“Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadah kepadanya?”

(Qs al-Anbiyâ’/21:51-52)

Maka apakah jawaban mereka kepada Nabi Ibrâhîm?

(Qs al-Anbiyâ’/21:53)

Mereka menjawab:
“Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya.”

(Qs al-Anbiyâ’/21:53)

Mendengar jawaban klasik tersebut, dengan tegas Nabi Ibrâhîm memvonis mereka dengan kesesatan yang nyata.

(Qs al-Anbiyâ’/21:54)

Ibrâhîm ‘alaihissalam berkata:
“Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata.”

(Qs al-Anbiyâ’/21:54)


ARGUMEN KAUM SYU’AIB ‘ALAIHISSALAM

Kaum yang lain adalah kaum Nabi Syu’aib ‘alaihissalam di Madyan, Allâh Ta’âla berfirman:

(Qs Hûd/11:84)

Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syu’aib ‘alaihissalam .
Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allâh Ta’âla ,
sekali-kali tiada tuhan bagimu selain Dia.
Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan,
sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu)
dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat).”
(Qs Hûd/11:84)

Bantahan mereka serupa dengan orang-orang kafir sebelumnya.

Mereka berkata: “Hai Syu’aib,
apakah shalatmu (agamamu) menyuruh kamu agar kami
meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami
atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki pada harta kami.
Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal.”

(Qs Hûd/11:87)


KEADAAN KAUM NABI YUSUF ‘ALAIHISSALAM

Nabi Yûsuf ‘alaihissalam diutus kepada bangsa Mesir. Beliau sudah memulai dakwah ketika berada di dalam penjara. Beliau mengingatkan kawannya di penjara bahwa kemusyrikan yang dilakukan oleh bangsa Mesir waktu itu hanyalah dibuat oleh mereka sendiri dan nenek moyang mereka.

Allâh Ta’âla mengisahkan perkataan beliau ‘alaihissalam :

(Qs Yûsuf/12:39-40)

Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik,
tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu
ataukah Allâh Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?
Kamu tidak menyembah yang selain Allâh kecuali hanya
(menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya.
Allâh tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu.

(Qs Yûsuf/12:39-40)

ARGUMEN KAUM NABI MUSA ‘ALAIHISSALAM

Nabi Mûsa ‘alaihissalam dan Nabi Hârûn ‘alaihissalam juga diutus kepada bangsa Mesir selain kepada Bani Israil.

Allâh Ta’âla berfirman tentang keduanya:

(Qs Yûnus/10:75)
Kemudian sesudah rasul-rasul itu, Kami utus Mûsa dan Hârûn
kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya,
dengan (membawa) tanda-tanda (mukjizat-mukjizat) Kami,
maka mereka menyombongkan diri
dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.

(Qs Yûnus/10:75)

Namun ternyata Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya menolak dakwah kedua Rasul mulia itu dengan argumen yang sama seperti orang-orang kafir yang lain.

(Qs Yûnus/10:78)

Mereka berkata:
“Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami
dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya,
dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan di muka bumi?
Kami tidak akan mempercayai kamu berdua.”

(Qs Yûnus/10:78)

ARGUMEN KAUM NABI MUHAMMAD SHALLALLÂHU ‘ALAIHI WASALLAM

Rasul terakhir yang Allâh Ta’âla utus di dunia ini mengalami hal yang sama. Kaum Quraisy lebih memilih mengikuti nenek moyang mereka daripada mengikuti petunjuk Allâh Ta’âla .

Allâh Ta’âla berfirman:

(Qs Luqmân/31:21)

Dan apabila dikatakan kepada mereka:
“Ikutilah apa yang diturunkan Allâh.”
Mereka menjawab: “(Tidak),
tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati
bapak-bapak kami mengerjakannya.”
Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka)
walaupun syaitan itu menyeru mereka
ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)? 

(Qs Luqmân/31:21)

Bahkan tokoh-tokoh Qurasiy berusaha menghalangi keislaman Abu Thâlib, paman Nabi, dengan argumen mengikuti agama orang tuanya. Maka akhirnya, Abu Thâlib lebih memilih kekafiran daripada keimanan. Hal ini dikisahkan di dalam hadits berikut ini:

hadits

Dari Sa’îd bin al-Musayyab, dari bapaknya, dia berkata:
“Ketika kematian mendatangi Abu Thâlib,
Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam menjenguknya.
Beliau mendapati Abu
Jahal dan `Abdullâh bin Abi Umayyah bin al-Mughîrah di dekat Abu Thâlib.
Beliau berkata: “Wahai pamanku, katakanlah Lâ ilâha illallâh,
sebuah kalimat yang aku akan berhujjah dengannya untukmu di sisi Allâh Ta’âla !”
Abu Jahal dan Abdullâh bin Abi Umayyah mengatakan:
“(Wahai Abu Thâlib) apakah engkau akan meninggalkan agama Abdul Muththalib?”.
Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam terus-menerus
menawarkan kalimat itu kepadanya,
dan keduanya juga mengulangi perkataan tersebut.
Sehingga akhir perkataan yang dikatakan Abi Thâlib kepada mereka
bahwa dia di atas agama Abdul Muththalib.
Dia enggan mengatakan Lâ ilâha illallâh.”
(HR. Bukhâri no. 4772; Muslim no. 24)

Demikian pula, setelah beliau berhijrah ke Madinah. Orang-orang Yahudi yang termasuk umat dakwah beliau shallallâhu ‘alaihi wasallam, lebih memilih mengikuti nenek moyang mereka daripada mengikuti petunjuk yang beliau bawa dari Allâh Ta’âla .

(Qs al-Baqarah/2:170)

Dan apabila dikatakan kepada mereka:
“Ikutilah apa yang telah diturunkan Allâh Ta’âla ,”
mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti
apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”.
“(Apakah mereka akan mengikuti juga),
walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui suatu apapun,
dan tidak mendapat petunjuk?”

(Qs al-Baqarah/2:170)

PENUTUP

Setelah kita mengetahui sikap para umat terhadap para rasul mereka, yang menentang al-haq dengan argumen mengikuti nenek moyang, maka tidak heran betapa banyak masyarakat sekarang yang menolak al-haq dengan argumen tradisi orang tua, warisan leluhur, adat kebiasaan suku, atau semacamnya.

Namun yang aneh ada sebagian kaum Muslimin yang mengikuti pola pikir jahiliyah ini dan meninggalkan al-Kitab dan Sunnah, padahal hujjah
telah datang kepada mereka. Maka dengan sedikit tulisan ini, semoga menyadarkan kita bahwa nilai kebenaran itu ukurannya adalah wahyu yang dibawa Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam dengan wujud al-Kitab dan Sunnah, dengan pemahaman yang benar dari para ulama Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah. Dan kita tidak boleh menentangnya dengan ajaran dari guru, tokoh, nenek moyang, atau lainnya. Wallâhul Musta’ân.

RUJUKAN:

  1. Mu’jamul Mufahras li Alfâzhil Qur’ân, Syaikh Muhammad Fuâd Abdul Bâqi
  2. Muqaddimah tahqîq kitab Tath-hîrul I’tiqâd dan Syarhus Shudûr, syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbâd
  3. Tafsir Ibnu Katsîr
  4. Shahih Bukhari
  5. Shahih Muslim
  6. Dan lain-lain

[1] Lihat Tafsir Ibnu Katsîr pada surat az-Zukhruf, ayat 21

 Oleh: Ustadz Abu Ismâ’îl Muslim al-Atsari

(Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII)