Hari Kebangkitan

Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan seluruh kaum muslimin yang senantiasa berpegang teguh pada sunnah Beliau sampai hari kiamat.

Kaum muslimin rahimakumullah, Hari Kiamat pasti terjadi, akan tetapi tidak ada seorang manusia maupun Malaikat yang tahu kapan terjadinya. Itulah keyakinan yang harus tertanam kuat dalam hati setiap muslim. Manusia yang paling mulia dan paling dekat dengan Allah Ta’ala, yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak mengetahui kapan terjadinya. Demikian pula Malaikat yang paling mulia dan paling dekat dengan Allah Ta’ala, yakni Malaikat Jibril ‘alaihis salam, tidak mengetahuinya.

Hari Kiamat Terjadi di Hari Jum’at
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik hari dimana matahari terbit adalah hari Jum’at. Pada hari Jum’at Adam diciptakan, pada hari itu dia dimasukkan ke dalam Surga dan pada hari Jum’at itu juga dia dikeluarkan dari Surga. Dan hari Kiamat tidaklah terjadi kecuali pada hari Jum’at.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 854).

Aus bin Aus radhiyallahu ‘anhu bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Sesungguhnya sebaik-baik hari kalian adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan dan diwafatkan. Pada hari itu juga Sangsakala ditiup dan petir bergemuruh.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 883 dan Ibnu Majah, no. 1075. Hadits ini dinilai shohih oleh Al-Albani dalam Shahiih Abi Dawud, I/290 dan Shahiih Ibni Majah, I/322).

Peniupan Sangsakala
Hari kebangkitan dimulai setelah peniupan Sangkakala oleh Malaikat Israfil, atas perintah Allah Ta’ala. Berapa kali sangkakala itu ditiup? Berkaitan dengan masalah ini, ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang berapa kali Sangsakala di tiup. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Katsir menyatakan ada tiga kali tiupan. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Syaikh Sholih Alu Syaikh ketika beliau menjelaskan kitab al-Aqidah al-Wasithiyah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa al-Qur‘an mengabarkan tiga kali tiupan. Tiga tiupan sangsakala ini adalah
Pertama, ialah tiupan al-faz’u (tiupan yang mengejutkan), sebagaimana disebutkan dalam surat An-Naml ayat 87. AllahTa’ala berfirman:
“Dan (ingatlah) hari (ketika) ditiup sangkakala, maka terkejutlah segala yang di langit dan segala yang di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah.” (QS. An-Naml: 87)

Kedua, yaitu tiupan ash-sha’iq (tiupan yang mematikan), dan yang ketiga adalah tiupan qiyam (bangkit). Dua macam tiupan ini terangkum dalam firman Allah Ta’ala: “Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian sangkakala itu ditiup sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannnya masing-masing).” (QS. Az-Zumar: 68).
Inilah tiga kali tiupan yang disampaikan oleh Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahulah. (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 4/260-261).

Sebagian ulama lagi berpendapat ada dua tiupan. Inilah pendapat Syaikh Muhammad bin Sholih al-’Utsaiminrahimahullah. Tiupan Sangsakala pertama berfungsi sebagai tiupan yang mengejutkan dan membuat pingsan semua makhluk, baik yang di langit maupun di bumi, kecuali yang dikehendaki Allah Ta’ala. Sedangkan tiupan kedua berfungsi untuk membangkitkan semua makhluk dari kuburnya. Setelah tiupan yang kedua ini, bangkitlah manusia dari liang kuburnya untuk menghadap Rabb semesta alam. (Syarhu Lum’at al I’tiqad, Tahqiq Asyraf Abdul Maqsud, hal. 114)

Berapa Jarak Antara Dua Tiupan?
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jarak antar dua tiupan Sangsakala itu empat puluh.” Lalu para sahabat bertanya, “Wahai Abu Hurairah, apakah 40 hari?” Abu Hurairah menjawab, “Aku tidak tahu.” Mereka bertanya lagi, “Apakah 40 bulan?” Abu Hurairah menjawab, “Aku tidak tahu.” Mereka bertanya lagi, “Apakah 40 tahun?” Abu Hurairah menjawab, “Aku tidak tahu.” Kemudian turunlah hujan dari langit, lalu mereka tumbuh seperti tumbuhnya sayuran. Semua bagian manusia akan hancur kecuali satu tulang, yaitu tulang ekor. Dari tulang ekor itulah manusia diciptakan pada hari Kiamat.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 4554 dan Muslim, no. 5253).

Demikianlah hadits tentang jarak antara tiupan ash-sho’iq (yang mematikan) dan tiupan al-qiyam (kebangkitan). Hadits ini hanya menyebutkan jaraknya adalah empat puluh, tanpa ada penegasan hari, bulan atau tahun. Adapun riwayat yang menegaskan 40 hari adalah riwayat yang lemah. Wallahu Ta’ala a’lam.

Bagian Tubuh Manusia Yang Tidak Dimakan Tanah
Seluruh tubuh manusia akan hancur dimakan tanah, kecuali yang dikehendaki Allah Ta’ala. Adapun yang tidak hancur dimakan tanah adalah
1. Jasad para Nabi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla mengharamkan tanah memakan jasad para Nabi.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 883, Ibnu Majah, no. 1075 dan dinilai shohih oleh Al-Albani dalam Shohih Sunan Abu Dawud, no. 962 dan Shohiih Ibni Majah, no. 889).
2. Tubuh para syuhada (orang yang meninggal jihad fi sabilillah). Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu pernah menggali makam ayahnya yang mati dalam perang Uhud. Ayahnya dimakamkan bersama orang lain dalam satu liang. Kemudian ia merasa kurang senang membiarkan beliau bersama yang lain dalam satu kuburan. Maka kuburannya digali setelah setelah enam bulan. Ternyata, keadaan ayahnya masih sama seperti saat dikuburkan, kecuali telinganya. (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1264).

3. Tulang ekor manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya pada diri manusia ada satu tulang yang tidak dimakan tanah selamanya. Padanya manusia disusun (kembali) pada hari Kiamat”. Para sahabat bertanya, “Tulang apakah itu, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tulang ekor.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 5255)
4. Ruh manusia. Meskipun ruh manusia adalah makhluk, namun ia tidak akan punah. (Syarah Al-Aqidah Al-Safariniyah, Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz Mani’, hal. 212)

Keadaan Manusia Ketika Dibangkitkan
Setelah tiupan ash-sha’iq (tiupan yang mematikan), maka matilah yang di langit dan di bumi kecuali yang dikehendaki Allah Ta’ala. Lalu Allah Ta’ala menurunkan hujan yang membasahi bumi dan menumbuhkan jasad manusia dari tulang ekornya. Jasad-jasad manusia ini tumbuh seperti tumbuhnya sayuran yang disirami hujan. Allah Ta’ala berfirman: “Dan Rabb yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari dalam kubur).” (QS. Zukhruf: 11)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kemudian Allah menurunkan hujan bagaikan gerimis atau awan. Maka tumbuhlah darinya jasad-jasad manusia. Kemudian ditiup kembali Sangsakala untuk kedua kalinya, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusan masing-masing).”(Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 5233)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahu umatnya bahwasanya mereka akan dibangkitkan dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian dan belum dikhitan, lalu dikumpulkan di padang Mahsyar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya kalian akan dikumpulkan menuju Allah Ta’ala dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian dan belum dikhitan.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 3349 dan Muslim, no. 2860, dari sahabat ‘Abdullah ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma).

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya, “Apakah laki-laki dan wanita saling melihat satu sama lain?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Keadaannya jauh lebih berat dari sekedar melihat satu sama lain.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 5102). [dr. Muhaimin Ashuri]

At Tauhid edisi VII/45
Oleh: dr. Muhaimin Ashuri

Mencari Gelar “Pak Haji”

Ibadah haji adalah ibadah yang teramat mulia. Sungguh sangat sulit untuk saat ini berangkat langsung dari tanah air karena antrian yang saking panjangnya. Namun demikian antusias orang di negeri kita di mana mereka sangat merindukan ka’bah di tanah suci. Sampai-sampai berbagai cara ditempuh dan dijalani untuk bisa ke sana meskipun dengan cara yang tidak Allah ridhoi. Selain itu tidak sedikit yang niatnya untuk selain Allah, hanya ingin mencari gelar. Label pak Haji-lah yang ingin disandang bukanlah ridho dan pahala dari Allah yang dicari. Sampai-sampai ada yang mengharuskan di depan namanya harus dilabeli gelar “H”.


Keutamaan Haji Mabrur

Haji adalah amalan yang teramat mulia. Sampai-sampai yang berhaji disebut dengan tamu Allah dan apa saja yang mereka panjatkan di-Nya mudah diperkenankan. Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الغازى فى سبيل الله والحاج والمعتمر وفد الله دعاهم فأجابوه وسألوه فأعطاهم

“Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji dan berumroh adalah tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika mereka meminta kepada Allah pasti akan Allah beri “(HR. Ibnu Majah no 2893. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Amalan haji terutama haji mabrur termasuk dalam jajaran praktek yang paling afdhol. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

سئل النبى – صلى الله عليه وسلم – أى ​​الأعمال أفضل قال «إيمان بالله ورسوله». قيل ثم ماذا قال «جهاد فى سبيل الله». قيل ثم ماذا قال «حج مبرور»

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya,” Amalan apa yang paling afdhol? “Beliau shallallahu’ alaihi wa sallam menjawab,” Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. “Ada yang bertanya,” Kemudian apa lagi? “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” “Haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. “(HR. Bukhari no. 1519)

Dan haji pun termasuk jihad. Dari ‘Aisyah-ummul Mukminin-radhiyallahu’ anha, ia berkata,

يا رسول الله, نرى الجهاد أفضل العمل, أفلا نجاهد قال «لا, لكن أفضل الجهاد حج مبرور»

“Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad??? “Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur “, jawab Nabi shallallahu?? Alaihi wa sallam.?? (HR. Bukhari no. 1520)

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Haji dan umroh termasuk jihad. Karena dalam praktek tersebut seseorang berjihad dengan harta, jiwa dan badan. Sebagaimana Abusy Sya’tsa ‘berkata,’ Aku telah memperhatikan pada praktek kebaikan. Dalam shalat, ada jihad dengan badan, tidak dengan harta. Begitu halnya pula dengan puasa. Sedangkan dalam haji, ada jihad dengan harta dan badan. Ini menunjukkan bahwa praktek haji lebih afdhol ‘. “(Lathoif Al Ma’arif, 403)

Balasan untuk haji mabrur adalah surga, ini sungguh balasan yang luar biasa. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

والحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة

“Dan haji mabrur tidak ada balasan yang cepat baginya selain surga. “(HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349).

Apa itu Haji Mabrur?

Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Haji mabrur adalah jika sepulang haji menjadi orang yang zuhud dengan dunia dan merindukan akherat.”

Al Qurthubi rahimahullah menyimpulkan, “Haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori oleh maksiat saat melaksanakan manasik dan tidak lagi gemar bermaksiat setelah pulang haji.” (Tafsir Al Qurthubi, 2 / 408)

An Nawawi rahimahullah berkata, “Pendapat yang paling kuat dan yang paling terkenal, haji mabrur adalah haji yang tidak ternodai oleh dosa, diambil dari kata-kata ‘birr’ yang berarti ketaatan. Ada juga yang berpendapat bahwa haji mabrur adalah haji yang diterima. Di antara tanda diterimanya haji seseorang adalah adanya perubahan menuju yang lebih baik setelah pulang dari pergi haji dan tidak membiasakan diri melakukan berbagai maksiat. Ada pula yang mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri unsur riya ‘. Ulama yang lain berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi bermaksiat. Dua pendapat yang terakhir telah tercakup dalam pendapat-pendapat sebelumnya. “(Syarh Shahih Muslim, 9/118-119)

Demikianlah kriteria haji mabrur. Kriteria penting pada haji mabrur adalah haji tersebut dilakukan dengan ikhlas dan bukan atas dasar riya ‘, bukan ingin mencari pujian, bukan ingin disebut “Pak Haji”.

Ikhlaslah dalam Ibadah

Dalam setiap ibadah kita diperintahkan untuk ikhlas di dalamnya. Kita diperintahkan beribadah untuk mengharap wajah Allah dan mengharap ridho-Nya. Jika kita beribadah malah ingin mencari pujian, maka jadi sia-sialah ibadah tersebut. Termasuk di dalamnya menunaikan haji hanya ingin mencari gelar pak haji, segala pengorbanan yang kita tumpahkan dari sisi biaya maupun tenaga, itu jadi tidak bernilai apa-apa. Perintah Allah untuk ikhlas sebagaimana dalam firman-Nya,

وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة وذلك دين القيمة

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan agar mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. “(QS. Al Bayyinah: 5)

Allah pun mengetahui segala sesuatu yang ada dalam isi hati hamba apakah ia ikhlas ataukah ingin cari muka di depan manusia dalam ibadahnya. Allah Ta’ala berfirman,

قل إن تخفوا ما في صدوركم أو تبدوه يعلمه الله

“Katakanlah:” Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui “. “(QS. Ali Imran: 29)

Dalam ayat lainnya, Allah memperingatkan dari bahaya riya ‘atau ingin cari pujian manusia dalam firman-Nya,

لئن أشركت ليحبطن عملك

“Jika kamu mempersekutukan (Rabbmu), niscaya akan hapuslah amalmu. “(QS. Az Zumar: 65)

Dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang sia-sialah amalan yang hanya ingin cari muka atau cari pujian manusia dalam sabdanya,

قال الله تبارك وتعالى أنا أغنى الشركاء عن الشرك من عمل عملا أشرك فيه معى غيرى تركته وشركه

“Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya (maksudnya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan syiriknya. “(HR. Muslim no. 2985). Imam Nawawi mengatakan, “Makna hadits ini adalah bahwa Allah tidak peduli pada orang menyekutukan-Nya dalam ibadah dengan selain-Nya. Barangsiapa yang beramal yang dia tujukan untuk Allah dan ini untuk selain-Nya, maka Allah tidak akan menerima amalannya bahkan Allah akan meninggalkan dirinya jika ia berarti demikian. Amalan seseorang yang berbuat riya ‘(tidak ikhlas), itu adalah praktek batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia akan mendapatkan dosa. “(Syarh Shahih Muslim, 18/116). Artinya, siapa yang berhaji namun hanya ingin cari gelar, maka amalannya bisa jadi sia-sia belaka. Ikhlaslah dalam beribadah pada Allah Ta’ala. Abul Qosim berkata, “Ikhlas adalah membersihkan amal dari komentar manusia.” (At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, 50-51)

Amalan sholeh yang bisa disembunyikan lebih baik disembunyikan, tidak perlu seluruh dunia mengetahuinya dan tidak perlu ingin cari pujian orang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إن الله يحب العبد التقى الغنى الخفى

“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup dan yang suka menyembunyikan amalannya. “(HR. Muslim no. 2965). Basyr Al Hafiy mengatakan, “Tidak selayaknya orang-orang semisal kita menampakkan amalan sholih meskipun hanya sebesar dzarroh (semut kecil). Bagaimana lagi dengan praktek yang mudah terserang penyakit riya ‘? “Ibrahim An Nakho’i mengatakan,” Kami tidak suka menampakkan amalan sholih yang seharusnya disembunyikan. “Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa Abu Hazim berkata,” Sembunyikanlah amal kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan praktek kejelekanmu. “Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan,” Sebaik-baik ilmu dan amal adalah sesuatu yang tidak ditampakkan di depan manusia. “(Dinukil dari Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas).

Imam Al Ghozali mengatakan, “Yang tercela adalah saat seseorang menemukan pujian. Namun jika ia dipuji karena karunia Allah tanpa ia cari-cari, maka itu tidaklah tercela. ”

Semoga Allah menganugerahkan kita sifat ikhlas dalam beribadah kepada-Nya dan menjauhkan kita dari penyakit riya ‘yang dapat menghapus amal.

Riyadh KSA, 22 Syawwal 1432 H (20/09/2011)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://www.muslim.or.id